Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Esai (Written Task) tentang Bahasa dalam Konteks Budaya

Pengertian esai secara singkat adalah bentuk tulisan pendek yang mengulas satu subjek dan sering kali memberikan pendapat pribadi dari penulis. Aldous Huxley mendefinisikan esai sebagai "tulisan yang dapat mengatakan hampir semua hal yang ada". Dalam kata lain, esai adalah karya ilmiah yang memberikan argumen pribadi penulis.

Secara garis besar, ada dua bentuk esai yang kita kenal, yakni esai sastra dan nonsastra. Esai sastra terdiri dari empat jenis:
  • Esai ekspositoris: dalam esai ini, penulis memberikan penjelasan tentang ide, tema, atau pokok masalah kepada audiens dengan memberikan pendapat pribadinya
  • Esai deskriptif: esai ini memberikan deskripsi tentang topik tertentu atau menggambarkan karakteristik sesuatu secara detail
  • Esai narasi: esai ini menggambarkan sebuah cerita dengan deksripsi sensorik. Penulis tidak hanya menceritakan sebuah cerita, tetapi juga memberikan alasan
  • Esai persuasif: dalam esai ini, penulis mencoba meyakinkan pembaca untuk mengadopsi sudut pandangnya pada suatu masalah.
Dalam artikel Zhinkadiary.com berikut ini, contoh esai yang diberikan merupakan jenis esai campuran dari jenis-jenis yang disebutkan di atas karena merupakan bentuk esai kreatif yang mencampurkan antara pengetahuan dan pengalaman dalam konteks bahasa. Penulis hanya perlu mengembangkan dan berfokus pada topik yang sudah dipilih.

Abstrak


Written task ini ditulis berdasarkan Part 1: Language in Cultural Context dengan topik pilihan “bahasa dan komunitas”. Bahasa dan komunitas merupakan dua hal yang berhubungan erat dalam kebudayaan sehingga kedua hal tersebut tak bisa dipisahkan satu sama lain. Keberadaan komunitas suatu masyarakat tentunya melahirkan banyak ragam kebudayaan dan bahasa. Karena itu, dalam banyak budaya daerah di Indonesia juga terdapat aneka bahasa daerah yang terdiri dari berbagai macam dialek.

Written task ini didasari dari teks esai Goenawan Mohamad yang berjudul “Kopi” yang terbit di Majalah Tempo pada 3 Desember 2017. Dalam esai tersebut, Goenawan menceritakan sejarah kopi yang bermula dari kota pelabuhan al-Mukha, Yemen, hingga kopi yang menjadi aset bisnis para kapitalis modern. Saya terinspirasi dari esai tersebut untuk membuat tulisan kreatif tentang keberagaman rasa dan jenis kopi yang terdapat di suatu wilayah terpencil Indonesia sekaligus menggambarkan kemajemukan subkultur dan bahasanya.

Selain itu, written task ini akan mengulas hubungan antara komunitas dan bahasa di dalam suatu subkultur masyarakat Timor yang ada di ujung timur Indonesia. Tujuan written task ini adalah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa negara Indonesia memiliki kekayaan budaya dan bahasa. Dengan menggunakan tipe teks feature, saya akan menuliskan perjalanan ekspedisi saya bersama tim jurnalis di Pulau Timor. Dalam written task ini, saya juga akan memberikan opini kepada pembaca bahwa generasi muda wajib melestarikan bahasa lokal agar tidak punah. Bahas lokal merupakan salah satu harta bangsa Indonesia.

contoh esai
Sumber gambar: Pixabay/Ihtar

Kopi, Subkultur, dan Bahasa

Minggu lalu, saya dan teman-teman jurnalis melakukan ekspedisi “Kopi Nusantara” ke Pulau Timor. Setelah sampai di sana, kami menginap di hotel yang memiliki sebuah kafe. Di kafe tersebut ada banyak pilihan kopi, dari robusta hingga arabika, tetapi yang paling menarik di sini adalah kopi asli dari Pulau Timor yang menjadi ikon di tempat itu. Orang-orang Timor mengatakan bahwa cara mereka membuat kopi itu berbeda dari yang lain sehingga rasa kopinya lebih tajam dibanding kopi-kopi, misalnya, buatan Starbucks.

Saya dan tim berkunjung ke sebuah kafe yang bernama “Kafe Minggu”. Seusai melakukan perjalanan di pedalaman hutan Timor, kami segera ke hotel dan menghabiskan sisa waktu di kedai kopi tersebut. Malam itu, kami ditemani suasana yang sejuk dan tenteram. Untuk menuju kafe tersebut, kami berjalan kaki sekitar 50 meter dan ketika sampai di depan kafe kami melihat antrean panjang para penikmat kopi.

Kalau dilihat dari luar, bentuk bangunan Kafe Minggu tampak lebih tradisional dibanding kedai-kedai kopi yang banyak kami temukan di kota-kota besar. Saat kami masuk, nyatanya kafe tersebut memiliki ruang dalam yang cukup besar. Kami pun memilih tempat duduk di tengah.

Setelah memesan kopi, saya tak sengaja terlibat percakapan dengan salah satu pengunjung kafe itu. Lelaki itu bernama Agung. Dia merupakan penggemar berat kopi di Kafe Minggu. Lelaki separuh baya tersebut mengatakan bukan hanya kopi yang membuatnya tertarik selalu datang ke tempat ini, tetapi juga suasana keakraban yang tercipta dari kafe tersebut. Menurut dia, kedai ini memiliki banyak variasi dan rasa kopi yang berbeda-beda. Ada rasa pahit yang tajam hingga kopi dengan tingkat keasaman yang tinggi.

Subkultur

Pada hari berikutnya, kami melanjutkan ekspedisi ke hutan pedalaman yang lain di Pulau Timor. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan Ardi. Ia adalah seorang pemerhati budaya lokal yang bekerja di Balai Bahasa Pulau Timor. Ia bercerita bahwa rutintias kesehariannya selalu dimulai dengan meminum secangkir kopi. Menurutnya, kopi tidak hanya sekadar minuman, tetapi juga ibarat ritual harian dan lambang kearaban dirinya dengan Pulau Timor.

Selain itu, Ardi juga berpendapat bahwa dengan minum kopi di kedai, maka setiap orang akan memiliki teman-teman baru melalui percakapan-percakapan yang hangat. Saya pun membayangkan bahwa kedai kopi di Timor memang diciptakan untuk mempererat hubungan sosial karena Timor memiliki rasa kopi yang sedap di lidah dan suasana yang sangat mendukung keakraban percakapan.

Bukan hanya itu saja. Saya pun melihat bahwa orang-orang di Pulau Timor mempunyai subkultur yang beragam. Kalau diteliti secara lebih jauh, ada banyak suku-suku lokal yang menghuni pulau yang letaknya di timur Indonesia itu. Berdasarkan percakapan dengan salah satu ketua adat desa, ada banyak orang-orang Timor yang menganut keyakinan  animisme. Banyak di antara mereka masih percaya dengan adanya makhluk halus yang menghuni gunung-gunung dan lembah.

Bahasa

Uniknya, di Pulau Timor tidak hanya bahasa resmi bangsa Indonesia yang dipakai, tetapi juga bahasa-bahasa tradisional yang jumlahnya puluhan. Menurut Ardi, ada satu bahasa tradisional di Pulau Timor yang tergolong langka karena jarang digunakan penduduk setempat sehingga dikabarkan tak lama lagi akan punah.

Bahasa “tradisional” ini memiliki logat berbeda dari bahasa-bahasa tradisional lainnya di Timor. Bahasa ini, menurut Ardi, belum sempat diteliti oleh para pakar bahasa di Indonesia. Karena itu, bahasa ini pun belum dikenal luas dan belum dihitung secara statistik berapa jumlah penuturnya hingga sekarang ini.

Alhasil, kami pun tertarik mengetahui lebih jauh bahasa “tradisional” tersebut. Kami singgahi perpustakaan daerah di Timor dan kami menemukan sebuah buah buku karangan pakar bahasa Portugis yang memetakan bahasa-bahasa tradisional di Timor. Setelah kami teliti, ternyata bahasa tradisional yang disebut-sebut hampir punah tersebut bernama Cuckoo.

Bahasa ini mempunyai lima dialek yang tersebar di Pulau Timor. Namun keberadaan lima dialek tersebut hingga saat ini juga belum jelas. Oleh karena itu, menurut kami, bahasa daerah atau bahasa daerah harus dilestarikan dengan cara melakukan riset dan mempromosikan bahasa tersebut kepada penutur-penutur asli Pulau Timor.

Karena bahasa tersebut itu sangat langka, jadi kami pun berpikir bahwa masyarakat dan pemerintah wajib melestarikan bahasa Cuckoo. Khusus untuk generasi muda rasanya perlu ikut melestarikan bahasa daerah dengan cara mempopulerkan di media-media sosial agar banyak orang mengetahui bahwa Indonesia sangat kaya akan budaya dan bahasa daerah.

Di samping itu, masyarakat Timor juga bisa mempopulerkan bahasa ini kepada para turis. Ada kata-kata yang menurut kami bisa digunakan para turis yang datang ke Timor, seperti ucapan “halo” di bahasa tersebut disebut dengan “tine”, “permisi” disebut “Ine”, “terima kasih” disebut jadi “Imakash”, dan “tolong” disebut “sine”.

Bahasa ini secara khusus memang dipakai oleh orang-orang desa pedalaman di Pulau Timor karena mereka umumnya masih memakai bahasa tradisional.  Berbeda dengan bahasa yang digunakan orang-orang di Kota Kupang saat ini banyak yang menggunakan bahasa Indonesia.

Walaupun kami sangat tertarik mengetahui lebih dalam bahasa tradisional tersebut, waktu akhirnya yang membuat kami harus kembali ke Jakarta. Sebelum kami ke airport, kami pun sekali lagi singgah di Kopi Minggu untuk merasakan kopi dan suasana tempat yang spesial tersebut. Kami ke airport dan meninggalkan tempat istimewa yang dipenuhi orang-orang yang ramah, suasana yang akrab, kekayaan subkultur, bahasa, dan tentunya varian kopi yang beragam dan enak.

Baca juga: Contoh Esai Sastra dan Tips Menulisnya

Posting Komentar untuk "Contoh Esai (Written Task) tentang Bahasa dalam Konteks Budaya"