Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Esai Sastra dan Tips Menulisnya untuk Pelajar dan Mahasiswa

Esai sastra adalah salah satu bentuk tugas menulis bagi pelajar dan mahasiswa baik di sekolah maupun universitas. Untuk menulis esai sastra yang baik dan benar, kamu memerlukan kemampuan dalam soal membaca, memahami, dan menganalisis.

Ketika kamu sudah mengetahui cara menulis esai sastra, maka kamu dapat mengeskpresikan pemikiran dan membuat analisis terhadap aspek-aspek yang akan dibahas. Untuk itu, penguasaan keterampilan menulis adalah faktor penting dalam membuat esai sastra. Jika kamu ingin mengetahuinya, yuk simak tips dari Zhinkadiary.com mengenai tahapan dalam membuat analisis sastra.

Contoh esai sastra

Pengertian esai sastra

Esai sastra adalah salah satu jenis esai yang mencakup analisis argumentatif mengenai suatu karya ssatra. Dalam esai, penulis membuat analisis mengenai novel, cerpen, puisi, atau naskah drama. Dalam membuat esai sastra terdapat unsur ide, alur, karakter, nada, gaya penulisan, dan perangkat analisis yang dipakai penulis untuk menuangkan pemikirannya.

Seorang penulis esai sastra setidaknya dapat menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan seperti, "Adakah relevansi novel dengan keadaan masyarakat setempat", "Mengapa novel ini ditulis pada zaman Orde Baru,", "Mengapa penulis mengangkat isu gender dalam kisahnya," dan lain-lain.

Bagaimana menulis esai sastra?

Sebagaimana tugas menulis lainnya, jenis tugas ini memerlukan beberapa persiapan yang cermat dan teliti. Kamu diminta untuk membuat rencana yang matang agar proses penulisannya lebih mudah dan menyenangkan. Untuk mengetahui persiapannya apa saja, kamu dapat mengikuti lima langkah berikut ini.

1. Fokus pada topik

Sebelum membuat esai, kamu harus membaca secara menyeluruh karya sastra yang akan dianalisis. Pastikanlah kamu benar-benar memahami ide penulis, penokohan, dan alur ceritanya. Jika perlu bacalah sebanyak dua kali. Untuk membuat analisis sastra yang baik, kamu harus memiliki pemahaman mengenai sudut pandang penulis dan gagasannya. Ketika membaca karya tersebut, cobalah menjawab pertanyaan ini:

  • Halaman mana dari teks yang paling penting dari keseluruhan karya tersebut?
  • Mengapa penulis menggunakan "perangkat sastra" ini dalam karyanya?
  • Apakah terdapat perkembangan karakter dalam cerita?

Cobalah untuk menemukan antara ide dan alur, perilaku tokoh, dan perubahan peran mereka dalam teks.

2. Mengumpulkan bukti/fakta

Kumpulkanlah fakta, ungkapan, dan bukti lain untuk membuat kesimpulan yang masuk akal dalam analisis sastra. Kamu harus memiliki bahan yang cukup untuk meyakinkan ketika membuat kesimpulan. Buatlah catatan saat membaca. Kamu juga perlu mempelajari beberapa informasi mengenai penulis, karena hal ini akan membantu kamu dalam memahami pemikiran penulis secara lebih baik.

3. Membuat outline

Membuat outline dalam analisis merupakan bagian penting dalam proses penulisan. Kamu harus memahami apa yang akan kamu tulis hingga sampai pada kesimpulan. Pastikan bahwa kamu menuangkan ruang untuk semua ide penting dari penulis secara lengkap.

4. Mengembangkan tesis utama

Kamu wajib merumuskan tesis dan menjelaskan mengapa argumen kamu sangat penting. Termasuk bagaimana tesis tersebut terhubung dengan ide dan pemikiran penulis novel tersebut.

5. Proses penulisan dan revisi

Dalam tahap ini, kamu sudah bisa membuat analisis esai sastra. Ingatlah bahwa kamu harus mengeluarkan pernyataan menggunakan paragraf yang terpisah. Setelah menyelesaikan tulisan esai, istirahatlah terlebih dahulu sebelum membuat revisi. Jeda waktu istirahat ini akan memberikan sudut pandang baru terhadap esai yang sudah kamu tulis sebelumnya.

Contoh esai sastra

Berikut di bawah ini adalah contoh esai sastra yang sederhana yang mengkaji dua karya sastra, yakni novel Gadis Pantai dan satu cerita pendek Jack dan Bidadari dari kumpulan cerita "Seekor Anjing Mati di Bala Murghab". Esai tersebut memfokuskan pada unsur intrinsik, seperti penokohan, alur cerita, dan latar. Silakan scroll ke bawah untuk membaca esai selengkapnya.

esai sastra
Sumber gambar: Pixabay/Rawpixel

(Contoh 1) Unsur Intrinsik dalam Dua Karya Sastra: “Gadis Pantai” dan “Jack dan Bidadari”

Dalam esai ini, saya akan membedah dua karya sastra yang ditulis oleh dua sastrawan, yakni satu novel berjudul “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer dan satu cerpen yang berjudul “Jack dan Bidadari” dari kumpulan cerpen Linda Christanty “Seekor Anjing Mati di Bala Murghab”. Secara garis besar, kedua cerita ini memiliki tema dan cara penulisan yang sangat berbeda. Jika karya Pramoedya Ananta Toer menuliskan tema mengenai isu stratifikasi sosial, yaitu tentang feodalisme pada masa penjajahan kolonialisme Belanda di Jawa abad ke-20, maka Linda Christanty cenderung menyelipkan isu-isu yang berakar pada masalah sosial-psikologis.

Pada novel Gadis Pantai, alurnya terstruktur dengan jelas, tetapi alur pada cerita-cerita Linda Christanty terasa lebih rumit karena melibatkan segi psikologi tokoh-tokohnya secara lebih sublim. Dalam Gadis Pantai, cerita berfokus pada pengembangan perumusan masalah diikuti dengan klimaks yang terdapat di bagian akhir, sehingga yang disampaikan penulis telah tampak pada bagian awal novel. Lain halnya dengan cerita-cerita dalam cerpen-cerpen Linda: perumusan masalah dibangung oleh curahan perasaan para tokoh dengan alur yang sangat cepat dan memiliki akhir cerita yang mengejutkan pembaca.

Seperti yang sudah disebutkan bahwa kedua karya ini ditulis pada masa yang berbeda: Gadis Pantai ditulis pada kisaran tahun 1960-an yang pertama kali dimuat sebagai cerita bersambung dalam Bintang Timur (1962-1965), sedangkan Seekor Anjing Mati di Bala Murghab ditulis pada era Reformasi. Oleh karena itu, nilai kebudayaan yang diangkat juga sangat berbeda. Jika Pramoedya mengangkat masalah kehidupan lokal masyarakat Jawa pada era feodalisme, maka cerita Linda berangkat pada masa yang lebih modern dan sebagian kisah diangkat dari negeri seberang.

Meskipun dua cerita tersebut sangat berbeda dari segi waktu penulisan, tetap ada satu persamaan dari Gadis Pantai dan Seekor Anjing, yakni membongkar peran internal wanita dan pria dalam suatu kehidupan masyarakat berdasarkan latar waktu, tempat, dan budaya. Itu sebabnya, tulisan ini akan menganalisis dua karya tersebut untuk menjawab pertanyaan “Sejauh manakah karakter pria dan wanita dalam kedua karya sastra yang Anda pelajari secara akurat mencerminkan peran pria dan wanita dalam suatu masyarakat?

Pertanyaan ini akan dijawab dengan membahas tigas aspek: latar, tokoh, dan alur cerita.

Latar

Aspek pertama yang akan dibahas adalah latar. Gadis Pantai bertempat di Jawa saat masih menganut sistem feodalisme sekaligus patriarki yang sangat kental. Feodalisme merupakan suatu hierarki sosial yang membagi masyarakat menjadi beberapa kasta. Seorang wanita yang berada pada kasta terbawah akan langsung diangkat derajatnya jika menikah dengan seorang pria terhormat atau priyayi. Meski begitu, wanita tersebut tidak akan bisa menyamai derajatnya dengan suaminya dan segala urusan rumah tangga harus dipatuhi dengan formal. Pasalnya, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi secara ketat yang dibuat oleh sang suami.

Sedangkan latar tempat dalam Jack dan Bidadari adalah salah satu negara di Eropa. Hal ini dibuktikan pada awal cerita yang mengintroduksikan empat musim yang ada di negara tersebut dan film yang tayang pada akhir cerita. Dalam cerita tersebut, kehidupan yang dijalani para manusianya sangat bebas, tidak ada sistem hierarki yang menghambat kehidupan sosial masyarakatnya. Adanya klub malam dan percintaan sesama jenis menjelaskan makna “kebebasan” tersebut. Sebagaimana diceritakan bahwa suami-istri dapat bercerai jika sudah tak cocok. Bukan karena suaminya yang memaksakan kehendaknya sebagaimana terjadi dalam Gadis Pantai.

Penokohan

Aspek kedua adalah penokohan. Gadis Pantai memiliki banyak tokoh yang pada setiap bagian memiliki peran yang membangun perumusan masalah tersendiri. Tiap-tiap tokoh tidak disebutkan namanya secara spesifik, melainkan hanya nama panggilan yang juga menjelaskan kedudukannya di dalam masyarakat. Misalnya, tokoh utama, yakni Gadis Pantai, yang tidak dijabarkan siapa nama aslinya. Pembaca mengenalnya sebagai seorang bunga desa yang terpaksa menikah dengan orang yang tak dikenalnya dan hidup di kota yang memiliki khazanah yang sangat berbeda dengan lingkungan kampung nelayan. Pembaca mencerna siapa dan bagaimana Gadis Pantai ini melalui perjalanan biografisnya. Apalagi setelah ia menikah, maka sebutan pada dirinya berubah menjadi “Mas Nganten”. Panggilan ini hanyalah panggilan status sosial belaka. Sementara tokoh antagonisnya adalah Bendoro yang juga tak kita ketahui siapa nama aslinya. Kita hanya mengetahui sepak terjangnya melalui pengisahan narator dan dialog-dialognya yang dingin dan keras.

Pada cerita Jack dan Bidadari, tokoh-tokoh tidak juga tidak terlalu dijelaskan secara utuh, melainkan hanya menyebut relasi masing-masing tokoh pada tokoh utamanya, Jack. Bidadari adalah pacar Jack yang bekerja di klub malam. Dia adalah seorang laki-laki, tetapi ia merasa seorang perempuan seutuhnya. Dalam kisah ini ditunjukkan bahwa pria sudah bebas memilih pasangan tanpa ada aturan sosial yang harus diikuti sebagaimana masih berakar kuat pada sistem yang tradisional. Dijelaskan juga bahwa masyarakat sekitar sangat ramah dan terbuka pada hal-hal yang mungkin dianggap melawan hukum alam. Sue adalah mantan istri Jack dan mereka memiliki anak bernama Anna. Tom adalah sahabat Jack yang sudah meninggal, ia memiliki mantan istri dan anak, Ricky, yang juga akrab dengan Jack. Namun tidak dijelaskan kepentingan tokoh-tokoh tersebut dalam cerita. Pada akhir cerita, penulis juga menambahkan karakter lainnya, Ratih, tetapi kehadirannya menggantung begitu saja.

Alur cerita

Aspek terakhir yang dikaji adalah alur cerita. Gadis Pantai mempunyai alur yang tersusun maju ke depan. Cerita ini mengisahkan seorang gadis belia yang menikah dengan seorang priyayi. Pernikahan yang diwakili sebilah keris ini membawa dampak signifikan pada kehidupan Gadis Pantai. Sebagai gadis belia, ia dewasa sebelum waktunya. Ia merasakan perjalanan rumah tangganya sebagai istri seorang priyayi. Meski jadi istri seorang terhormat tetapi tidak membuatnya sejajar dengan suaminya. Pasalnya, ia hanya sebagai “penghibur”, bukan istri yang sesungguhnya. Ia bukanlah istri yang pertama, melainkan yang keempat: ketiga istrinya juga nasibnya serupa, yakni diceraikan setelah melahirkan anak.

Klimaks dari cerita ini adalah saat Bendoro menceraikan Gadis Pantai ketika mengetahui anaknya bukan lelaki. Keputusan ini pun diambil tanpa setahu istrinya, bahkan ia tak bicara langsung, melainkan melalui mertuanya. Ketika anaknya lahir ke dunia, Bendoro pun tidak ingin melihat wajah dari anaknya atau sekadar mengecek apakah ia sehat dan lahir dengan selamat. Akhirnya, Gadis Pantai dipaksa meninggalkan anaknya yang baru saja dilahirkan. Rentetan kejadian ini merupakan bukti yang sangat kuat tentang stratifikasi sosial dan perbedaan gender. Perempuan tidak bisa menjadi sederajat dengan pria walaupun ia menjadi seorang istri. Segala hal dilakukan atas kehendak pria, si priyayi, Bendoro, tanpa melibatkan istrinya sama sekali.

Cerita Jack dan Bidadari jauh lebih singkat dibanding Gadis Pantai. Yang harus diperhatikan di cerita ini adalah bagaimana proses perceraian terjadi dengan keterlibatan dua belah pihak: suami dan istri. Mengenai pengasuhan anak juga harus melalui jalur pengadilan, sehingga segala sesuatunya tidak hanya berasal dari “kehendak” sang suami. Cerita ini mencoba mempersamakan kesetaraan gender. Apalagi setiap individu dalam cerpen ini bebas memilih dan berpendapat. Bahkan Jack tertarik dengan seorang pria. Mereka pun menjalin hubungan tersebut selama dua tahun tanpa ada orang lain yang menganggapnya aneh. Jack pun pasrah terhadap kelakuan Bidadari dan selalu menerimanya kembali meskipun kadang pertengkaran dilakukan secara fisik. Hal ini juga menunjukkan bahwa latar budaya cerita ini menggambarkan suatu kesejajaran sosial setiap manusia. Tidak ada yang lebih dominan atau salah satu pihak kalah, tetapi kedua belah pihak bebas untuk menyatakan pendapat sesuai dengan isi hati.

Kesimpulan

Kedua karya sastra tersebut mencerminkan peran wanita dan pria secara akurat pada suatu masa tertentu berdasarkan perbedaan latar tempat dan budaya. Kenyataan pada peran pria dan wanita dicerminkan pada masa di mana cerita tersebut berlaku. Misalnya, perbedaan gender pada cerita Gadis Pantai hanya dapat terjadi pada masyarakat Jawa yang masih terpenjara oleh sistem hierarki dan partriarki. Sedangkan dalam Jack dan Bidadari yang berlatar belakang negara liberal di Eropa memiliki masyarakat yang cenderung individual dan lebih bertanggung jawab pada pilihannya sendiri. Orang lain tak berhak untuk mencampuri urusan rumah tangga atau kehidupan pribadi seseorang. Semua orang sama di hadapan hukum dan setiap orang pula bebas menyatakan gagasan.

(Contoh 2) Analisis novel The Things They Carried dan Slaughterhouse Five

Pertanyaan esai: Penulis terkadang menceritakan kisah mereka dengan cara non-linier. Bandingkan bagaimana dan untuk alasan apa penulis dalam dua karya yang telah Anda baca menceritakan kisah mereka secara non-linier!

Pembaca sering kali tertarik dengan cerita perang karena mereka ingin tahu apakah orang bisa bertahan dalam keadaan yang sulit.  The Things They Carried karya Tim O’Brien dan Slaughterhouse Five karya Kurt Vonnegut menunjukkan bagaimana tentara berjuang untuk menghadapi perang meskipun pada akhirnya tidak menang.  Penulis menggunakan narasi non-linier untuk menunjukkan kepada pembaca bagaimana tentara mengingat, mengalami, dan menderita akibat kedahsyatan dalam peperangan. 

Kedua novel tersebut ditulis oleh pengarang untuk mengingat pengalaman mereka mengenai satu perang dalam konteks perang yang lain dengan struktur naratif non-linier.  Pada tahun 1990, selama Perang Teluk di Kuwait, Tim O’Brien menulis novel The Things They Carried yang mengisahkan Perang Vietnam tahun 1960-an. O’Brien dalam novelnya menulis sebagai seorang tentara yang trauma dengan kekerasan yang dialaminya. Ia mencampurkan "truth-story" dengan "happening-truth" untuk menciptakan sebuah karya yang berdiri di antara kenyataan dan fiksionalitas. Misalnya, dalam satu bab berjudul "Love", bercerita tentang bagaimana O’Brien bertemu dengan veteran lain, Jimmy Cross, bertahun-tahun setelah perang untuk kongkow minum kopi dan mengingat kekejaman yang tidak dapat mereka maafkan. Temannya tersebut memberi tahu O’Brien tentang wanita yang dicintainya, Martha. Namun cintanya tersebut bertepuk sebelah tangan karena Martha takut berada bersama veteran yang pernah mengalami kekerasan perang dan hal inilah yang membuatnya patah hati.  Tampaknya ada stigma yang tak terhindarkan mengenai para veteran Perang Vietnam. Sebuah kisah dalam cerita ini menunjukkan kepada pembaca bagaimana perang tidak pernah berhenti merusak kehidupan para veterannya, sekalipun perang tersebut telah lama berakhir. 

Melalui penggunaan cerita berbingkai yang serupa, Kurt Vonnegut menunjukkan bagaimana efek Perang Dunia II telah menghantui para veteran, bahkan setelah perang berakhir.  Novel semi-autobiografi ini ditulis pada puncak Perang Vietnam tahun 1969. Vonnegut memulai Slaughterhouse Five dengan dialog antara dia dan seorang veteran O’Hare serta istrinya, Mary. Istri O’Hare marah kepada Vonnegut lantaran menulis novel tentang perang. Vonnegut berjanji kepadanya bahwa novelnya akan membuat semua pria muda mana pun tidak mau ikut berperang.  Selanjutnya Vonnegut mempersembahkan novel itu kepadanya yang merupakan tanda yang jelas bagi pembaca bahwa tujuannya adalah menepati janjinya kepada Maria. Dalam konteks tahun 1967, ketika karya ini ditulis, gerakan protes menetang Perang Vietnam memang semakin meningkat. Penggunaan cerita berbingkai ini menunjukkan kepada pembaca bagaimana Vonnegut menganggap perang itu tidak masuk akal.  Lapisan narasi ini sangat mirip dengan cara O’Brien menceritakan kisahnya di The Things They Carried, yang juga digunakan penulis untuk tujuan yang sama, yakni menunjukkan efek tentang kerugian perang terhadap para veterannya.  Narasi non-linear mencakup para veteran yang mengingat perang dan bertindak sebagai pengingat bagi orang-orang tentang bagaimana kekejaman perang masih terus berlangsung. 

Narasi terputus-putus, seperti tidak saling berhubungan, dan non-linier digunakan dalam kedua novel sebagai cara untuk menunjukkan kepada pembaca bagaimana tentara mengalami dan menghadapi situasi yang sangat kejam. Dalam The Things They Carried, O’Brien mengingat pernah membunuh seorang pemuda Vietnam. Ia menjauhkan dirinya dari aksi kekerasan dengan menggambarkan kehancuran tubuh pemuda itu tanpa rasa iba hati. Mata korban ditembak seperti binatang dan sebagian wajahnya hilang. Alih-alih menulis tentang perasaan bersalah dan jijiknya, O’Brien justru menggunakan perumpamaan. Dia berfantasi tentang masa muda pemuda Vietnam itu yang tumbuh besar di sekolah dan mungkin diejek oleh temannya karena kecintaannya pada kalkulus. Peristiwa kilas balik ini kontras dengan gambaran kupu-kupu yang mendarat di hidung pemuda tersebut. Bahkan teman peleton O’Brien merasionalkan bahwa O’Brien tidak membunuh bocah itu, melainkan orang lainlah yang membunuh. Penggunaan dialog, citraan, dan sturktur non-linier ini memungkinkan O’Brien menceritakan kembli tindakan kekerasan itu tanpa menghadapi rasa sakit atau rasa penyesalan karena membunuh pemuda Vietnam tersebut.

Karakter utama dalam Slaughterhouse Five, Billy Pilgrim, menggunakan perangkat yang serupa meskipun berbeda untuk mengatasi gangguan stres setelah mengalami trauma. Billy Pilgrim, sebagaimana Vonnegut, adalah seorang veteran Perang Dunia II. Novel ini diakhiri dengan protagonis yang memanjat keluar dari tumpukan gunung jenazah. Tergambar betapa mengerikan peristiwa tersebut. Setiap kali Billy meletakkan satu jenazah di belakangnya, jenazah lain muncul di kaki langit. Dalam arti tertentu, hal tersebut merupakan analogi perang, seperti yang disarankan Vonnegut bahwa begitu satu perang selesai, maka perang lain sedang dimulai. "Dan begitulah," kata narator di seluruh novel setelah seseorang terbunuh. Frasa pasif ini menunjukkan bahwa kematian dan kehancuran tidak bisa dihindari. Bahasa dalam novel membuat pembaca tidak berdaya seperti protagonis, tetapi bersedia menerima kekejaman dengan apa adanya. Dengan cara yang sama, O'Brien mengadopsi nada tak berdaya di seluruh The Things They Carried dengan menggunakan frasa "this is true" untuk menyarankan bahwa peristiwa mengerikan harus diterima apa adanya. Sejalan dengan pemikiran O'Brien dan Billy bahwa adegan-adegan yang terjadi dalam cerita itu maju atau mundur setiap kali terjadi kekerasan. Billy yakin bahwa dia diculik oleh alien, Tralfamadorians, yang membawanya dalam perjalanan waktu menggunakan "dimensi keempat". Hal ini memungkinkannya untuk melihat kembali kengerian perang hanya satu kali dalam hidupnya dan juga untuk beralih ke waktu lain yang lebih baik. Perangkat untuk mengatasi gangguan stres setelah mengalami trauma ini lebih ekstrem daripada penggunaan imajinasi dan "truth-story" O'Brien sekalipun fungsinya serupa. Alur cerita non-linier dari kedua karya tersebut menunjukkan kepada pembaca tentang bagaimana para veteran menghadapi gangguan stres pascatrauma.

Pada akhirnya, kedua karya tersebut menggunakan teknik struktur non-linier untuk menunjukkan kepada pembaca bagaimana perang menimbulkan kerusakan mental bagi para veteran. Dalam The Things They Carried, beberapa karakter digambarkan sebagai orang yang mentalnya tidak stabil. Sebuah cerita tentang Mitchell Sanders yang pergi berpatroli dan akhirnya menjadi gila setelah mendengar suara-suara aneh, seperti monyet berbicara, pesta koktail, dan nyanyian lagu gereja. Bahkan setelah memerintahkan seluruh wilayah untuk dibakar dengan serangan udara, dia pun masih mendengar suara-suara aneh itu. Akhirnya, Sanders mengakui kepada O'Brien bahwa dirinya memperindah sebagian ceritanya yang membuat pembaca mempertanyakan kewarasan Sander sebagai narator.

Dengan cara yang sama, Billy Pilgrim menjadi tidak waras dan cerita Vonnegut hanyalah fantasi. Meskipun Kurt Vonnegut mengklaim bahwa "sebagian besar" ceritanya tentang Billy adalah benar, maka mustahil bagi siapa pun untuk berbuat dan berperilaku seperti itu. Terlebih lagi, kisah Vonnegut tentang pertemuan Bily dengan para Tralfamadorians merupakan kontak seksual dengan seorang bintang film dan perjalanan waktu fantasi dengan gayanya yang blakblakan. Ada petunjuk bahwa Billy dianggap gila oleh karakter lain. Pembaca, dalam hal ini, menangguhkan semua ketidakpercayaan dalam cerita Vonnegut karena didasarkan pada premis bahwa tidak ada yang lebih absurd selain selamat dari pengeboman di Dresden yang menewaskan lebih dari 135 ribu orang dalam satu malam. Faktanya, Vonnegut sendiri selamat dari pengeboman seperti yang digambarkan dalam kisah fiksi ini, sebagai tahanan di tempat penyimpanan daging. Vonnegut dan O'Brien sama-sama mendapatkan hak dalam menceritakan kisah fantastik non-linier yang mengomentari perang secara kritis karena keduanya selamat dari kedahsyatan perang.

Kesimpulannya, kedua novel itu menggunakan narasi non-linier untuk menunjukkan kepada pembaca bagaimana para veteran mengingat, mengalami, dan menderita akibat perang. Novel-novel tersebut ditulis dalam konteks perang yang satu dengan perang yang lain sebagai peringatan bahwa perang akan selalu mengerikan. Baik Vonnegut maupun O’Brien mencampurkan fakta dan fiksi sebagai cara untuk membuat kesia-siaan perang menjadi masuk akal bagi pembaca.

(Contoh 3) Analisis komik strip Mice Cartoon

Contoh esai sastra dan tips menulisnya

Pertanyaan esai: Diskusikan bagaimana penggunaan bahasa dan bentuk visual dalam teks ini menarik dan menghibur bagi pembaca?

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh semua manusia di muka bumi. Namun bahasa juga dapat berfungsi sebagai identitas dan suatu persatuan negara, termasuk Indonesia. Sayang sekali, kini bahasa Indonesia mulai tergeser oleh arus globalisasi di mana bahasa Inggris juga sudah mulai merajalela. Topik ini kerap dibahas dalam berbagai karya tulis. Salah satunya adalah kumpulan kartun “Mice cartoon, Obladi Oblada Life Goes On” ciptaan Muhammad Mice Misrad. Teks ini menyoroti femomena bahasa Ingrris yang sudah mulai menjajah bahasa persatuan negara Indonesia, dengan tujuan untuk menyindir masyarakat yang sering mengutamakan bahasa asing tersebut daripada bahasa Indonesia. Uraian berikut ini akan mendiskusikan tema, tujuan dan cara penulis menyampaikan pesannya dalam teks melalui penggunaan bahasa dan bentuk visual.

Tema yang diangkat dalam komik ini adalah bahasa dalam konteks sosial. Komikus menuliskan strip komik (comic strips) ini untuk menyindir masyarakat Indonesia yang terlalu menjunjung tinggi bahasa Inggris. Seperti yang dapat dilihat pada gambar dalam semua panel. Misrad menggunakan media visual berupa gambar sebagai medium dan teknik utamanya dan di seluruh gambar yang ia kerjakan, terdapat lebih dari satu orang. Karakter atau tokoh yang diilustrasikan semuanya tampak sedang berinteraksi yang menunjukkan bahwa konteks dalam komik adalah konteks sosial.

Untuk menyampaikan tujuannya, Mice menempatkan ujaran orangtua pada panel kedua dalam balon bicara (speech bubble): “Oooh, No…No!! use a spoon… should not wear hand!”. Kalimat tersebut disampaikan oleh seorang ibu berambut hitam seperti tampak dalam gambar. Representasi ibu dengan rambut hitamnya dalam konteks sosial ini berhubungan dengan stereotip yang mengatakan bahwa apabila seseorang memiliki rambut hitam, artinya mereka adalah orang pribumi. Identitas ini menunjukkan ia adalah orang Indonesia. Didukung dengan kalimat yang disampaikan, dapat diindikasikan bahwa nada yang digunakan oleh tokoh adalah nada menggurui. Kalimat juga disampaikan dalam bahasa Inggris yang ditujukan kepada seorang anak perempuan yang juga berambut hitam. Apabila dilihat, anak tersebut merupakan anak dari ibu yang terdapat dalam panel kedua. Dengan adanya ilustrasi ibu dan anak serta kalimat berbahasa Inggris yang bernada menggurui, dapat disimpulkan bahwa penulis secara implisit baru saja menyindir masyarakat terutama orangtua yang ternyata adalah satu sumber dan juga alasan mengapa anak Indonesia lebih sering menggunakan bahasa Inggris dibandingkan berbahasa Indonesia. Adanya peran orangtua yang bertujuan untuk menjadi perantara ilmu dan norma kepada anak-anak, menunjukkan sebab tergesernya bahasa nasional adalah karena peran orangtua yang salah mendidik anaknya. Ditekankan lagi dengan “caption” berupa narasi di atas panil yang merupakan imaji visual dan berfungsi menggambarkan setting dan memberikan konteks pada komik strip. Imaji digunakan oleh penulis sebagai sindiran implisit yang memperlihatkan bagaimana salah satu pengaruh terbesar atau efek globalisasi adalah rumah sendiri.

Tidak hanya itu, di panel sebelah kiri juga terdapat imaji visual dengan “caption” yang bertuliskan “Di kelas bermain...” Adanya “caption” yang menggambarkan latar tempat ini menunjukkan bagaimana bahasa Inggris digunakan di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini memperlihatkan sindiran yang ingin disampaikan oleh komikus tentang bagaimana seluruh masyarakat sudah jarang menggunakan bahasa Indonesia yang pada akhirnya dapat mempengaruhi masyarakat lain. Pencitraan visual ini memberi efek kepada pembaca untuk merasa prihatin dengan masyarakat yang menjadi sebab pergeseran tersebut.

Dalam teks visual ini, komikus menggunakan cara yang implisit untuk menyampaikan pesannya yang bersifat menyindir. Mice memilih teknik jukstaposisi antarsituasi (dua situasi) yang dipisahkan oleh ‘gutter’. Satu situasi menunjukkan tokoh anak berbahasa Inggris di lingkungan dengan bahasa yang sama, sedangkan situasi lainnya memperlihatkan sang anak sedang bersama neneknya dalam lingkungan bahasa yang berbeda (adat). Jukstaposisi tersebut sekali lagi menyindir masyarakat secara implisit melalui stereotip nenek-nenek tradisional yang hanya bisa berbahasa Indonesia seperti yang digambarkan oleh komikus. Dengan dukungan stereotip di atas, Misrad menunjukkan secara implisit bagaimana bahasa yang sering digunakan sehari-hari berubah seiring dengan adanya perubahan zaman.

Ditekankan lagi pada panel terakhir saat nenek mengatakan, “Lho?!! Cucuku ngomong apa tuh??”. Adanya penggunaan tanda tanya dan tanda seru di barisan yang sama serta kata “tuh” menunjukkan nada yang bertanya-tanya (heran) sekaligus menyindir. Pertanyaan dan nada tersebut digunakan oleh komikus untuk menyindir masyarakat yang sudah tidak menjunjung bahasa persatuan lagi karena pengaruh globalisasi. Nada satiris ini dapat menyadarkan pembaca tentang bagaimana identitas masyarakat sudah mulai berubah dan komikuspun berhasil menyindir mereka yang terpengaruh. Tidak hanya itu, komikus juga menggunakan ragam bahasa informal untuk menyampaikan sindiran seperti pada kalimat di panel terakhir. “Tuh, Kan… Aku bilang juga apa?! Orang bule juga ngga ngajarin anaknya ngomong Indonesia, kok!”. Penggunaan kalimat negasi ini menimbulkan nada yang menggurui dan berkonotasi satir. Nada tersebut juga ditekankan dengan adanya kata “bule”, “ngajarin” dan “Indonesia” yang menunjukkan sebuah paradoks dengan situasi yang terdapat dalam strip komik. Paradoks digunakan oleh komikus untuk membandingkan dua situasi yang berhubungan namun sangat berlawanan serta menyampaikan konotasi satir yang berguna untuk menyindir secara implisit kepada orang Indonesia dengan pertanyaan retorik bahwa orang asing saja tidak mengajarkan bahasa Indonesia, mengapa orang Indonesia harus mempelajari bahasa tersebut? dengan adanya nada satir dan paradoks, komikus dapat menyampaikan sindiran secara implisit dan memberikan efek kepada pembaca untuk merasa prihatin dan iba terhadap masyarakat Indonesia yang belum sadar.

Posting Komentar untuk "Contoh Esai Sastra dan Tips Menulisnya untuk Pelajar dan Mahasiswa"