Mengenal Wayang Potehi: Sejarah Boneka Cermin Kehidupan
Pertunjukan wayang Potehi sebenarnya hampir punah, tetapi di beberapa tempat masih terjaga dengan baik. Wayang Potehi lahir dari percampuran budaya yang mengajarkan mengenai makna kehidupan.
Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Bunyi piak ko yang disusul siauw loo muncul silih berganti. Kaisar Lie Sie Bin yang baru saja naik takhta memasuki istana. Dengan suara lantang, sang kaisar memerintahkan pasukannya untuk segera melakukan invasi ke wilayah Utara Tiongkok, tempat tinggal bangsa Pak Hoan.
Tak hanya memerintah, Lie Sie Bin juga turun langsung ke medan perang. Kaisar didampingi oleh jago-jago tua, seperti Cin Siok Po, Uttie Kiong, Thia Kauw Kim, dan penasehatnya yang cerdas, Cie Bouw Kong. Tak ketinggalan, seorang pemuda gagah bernama Lo Tong Ceng Souw Pak atau Lo Tong.
Lo Tong sebagai tokoh utama dikisahkan mengalami banyak konflik. Dari dendamnya kepada salah seorang panglima Negeri Tong sampai intrik pernikahannya dengan seorang putri dari Negeri Pak Hoan. Pernikahan tersebut hanyalah salah satu strategi untuk menjatuhkan musuh.
Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Pukulan kayu dan gembreng kecil kembali berbunyi nyaring. Sorot mata anak-anak masih terpaku pada panggung pertunjukan wayang Potehi dengan lakon Lo Tong Ceng Souw Pak yang digelar di Mal Ciputra, Jakarta, beberapa waktu lalu. Mereka begitu antusias menyaksikan pertunjukan wayang yang jarang digelar tersebut.
Maklum saja, wayang Potehi biasanya hanya digelar di kelenteng-kelenteng dan pada waktu-waktu tertentu saja. Namun sekarang wayang Potehi bisa disaksikan di pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jakarta Barat itu, selama sebulan penuh.
Dalam setiap pertunjukkannya, wayang Potehi diiringi sejumlah alat musik tradisional Tiongkok. Alat musik dari wayang ini biasanya berupa toa loo (gembreng besar), hian na (rebab), piak ko (kayu), bien siauw (suling), siauw loo (gembreng kecil), tong ko (gendang), thua jwee (terompret).
Kesenian Potehi dibawa masuk oleh pedagang Tionghoa ke Nusantara pada abad ke-16. Wayang Potehi pertama kali dimainkan di Kota Semarang.
Cara memainkan wayang Potehi ialah dengan memasukkan tangan ke dalam pakaian yang dikenakan wayang. Jari tengah digunakan untuk mengendalikan kepala, sedangkan ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang.
Konon, wayang Potehi disebut-sebut berasal dari balik jeruji penjara Kerajaan Tiongkok. Alkisah, lima orang narapidana akan dieksekusi mati karena pelanggaran hukum berat. Berita eksekusi ini menciutkan nyali empat orang di antara pesakitan tersebut. Mereka pun sedih meratapi nasib.
Hal yang berbeda justru terlihat pada seorang pesakitan. Sang narapidana ini justru menyambut sisa hidupnya dengan gembira. Ia mengajak rekan-rekannya tersebut untuk mengisi detik-detik terakhir hidupnya dengan menghibur diri sendiri. Akhirnya mereka secara spontan membuat pertunjukan boneka dari kain dengan iringan bunyi-bunyian yang berasal dari berbagai benda yang ada di sel mereka.
Tak disangka, dari beraneka barang yang ada seperti piring, panci dan perkakas lainnya hadir musik yang enak didengar. Pertunjukan boneka ini pun ternyata tidak saja menghibur mereka, tapi juga narapidana lain, bahkan para sipir penjara. Cerita tentang pertunjukan kelima orang narapidana ini akhirnya sampai ke telinga kaisar. Atas kebijaksanaan sang kaisar, kelima narapidana tersebut mendapatkan kesempatan melakukan pertunjukan di hadapan sang kaisar dan memperoleh pengampunan.
Seiring dengan masa reformasi, perlahan kesenian ini kembali menggeliat. Kesenian Potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat seperti kelenteng atau pada saat perayaan ritual keagamaan. Bahkan saat ini pertunjukan wayang potehi pun marak merambah ke sejumlah pusat perbelanjaan, khususnya saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Wayang Potehi kini telah menjadi budaya Indonesia dan perlu dilestarikan.
Sebagai sebuah kesenian, wayang Potehi menunjukkan bahwa ia lahir dari sebuah proses akulturasi yang panjang. Potehi mampu bertahan menjadi sebuah kesenian yang dapat merontokkan sekat-sekat kesukuan dan membentuk kesenian dan kebudayaan Indonesia. Satu hal yang jelas kentara, dalang Potehi tidak melulu dimainkan oleh orang Tionghoa.
Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Bunyi piak ko yang disusul siauw loo muncul silih berganti. Kaisar Lie Sie Bin yang baru saja naik takhta memasuki istana. Dengan suara lantang, sang kaisar memerintahkan pasukannya untuk segera melakukan invasi ke wilayah Utara Tiongkok, tempat tinggal bangsa Pak Hoan.
Tak hanya memerintah, Lie Sie Bin juga turun langsung ke medan perang. Kaisar didampingi oleh jago-jago tua, seperti Cin Siok Po, Uttie Kiong, Thia Kauw Kim, dan penasehatnya yang cerdas, Cie Bouw Kong. Tak ketinggalan, seorang pemuda gagah bernama Lo Tong Ceng Souw Pak atau Lo Tong.
Lo Tong sebagai tokoh utama dikisahkan mengalami banyak konflik. Dari dendamnya kepada salah seorang panglima Negeri Tong sampai intrik pernikahannya dengan seorang putri dari Negeri Pak Hoan. Pernikahan tersebut hanyalah salah satu strategi untuk menjatuhkan musuh.
Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Pukulan kayu dan gembreng kecil kembali berbunyi nyaring. Sorot mata anak-anak masih terpaku pada panggung pertunjukan wayang Potehi dengan lakon Lo Tong Ceng Souw Pak yang digelar di Mal Ciputra, Jakarta, beberapa waktu lalu. Mereka begitu antusias menyaksikan pertunjukan wayang yang jarang digelar tersebut.
Maklum saja, wayang Potehi biasanya hanya digelar di kelenteng-kelenteng dan pada waktu-waktu tertentu saja. Namun sekarang wayang Potehi bisa disaksikan di pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jakarta Barat itu, selama sebulan penuh.
Wayang Potehi berasal dari Tiongkok
Wayang Potehi, sejatinya, adalah seni pertunjukan boneka tradisional asal Tiongkok. Potehi berasal dari akar kata pou yang bermakna kain, te bermakna kantong, dan hi yang mengadung arti wayang. Secara literal, bermakna ”wayang dengan bentuk kantong yang terbuat dari kain”.Dalam setiap pertunjukkannya, wayang Potehi diiringi sejumlah alat musik tradisional Tiongkok. Alat musik dari wayang ini biasanya berupa toa loo (gembreng besar), hian na (rebab), piak ko (kayu), bien siauw (suling), siauw loo (gembreng kecil), tong ko (gendang), thua jwee (terompret).
Kesenian Potehi dibawa masuk oleh pedagang Tionghoa ke Nusantara pada abad ke-16. Wayang Potehi pertama kali dimainkan di Kota Semarang.
Cara memainkan wayang Potehi ialah dengan memasukkan tangan ke dalam pakaian yang dikenakan wayang. Jari tengah digunakan untuk mengendalikan kepala, sedangkan ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang.
Konon, wayang Potehi disebut-sebut berasal dari balik jeruji penjara Kerajaan Tiongkok. Alkisah, lima orang narapidana akan dieksekusi mati karena pelanggaran hukum berat. Berita eksekusi ini menciutkan nyali empat orang di antara pesakitan tersebut. Mereka pun sedih meratapi nasib.
Hal yang berbeda justru terlihat pada seorang pesakitan. Sang narapidana ini justru menyambut sisa hidupnya dengan gembira. Ia mengajak rekan-rekannya tersebut untuk mengisi detik-detik terakhir hidupnya dengan menghibur diri sendiri. Akhirnya mereka secara spontan membuat pertunjukan boneka dari kain dengan iringan bunyi-bunyian yang berasal dari berbagai benda yang ada di sel mereka.
Tak disangka, dari beraneka barang yang ada seperti piring, panci dan perkakas lainnya hadir musik yang enak didengar. Pertunjukan boneka ini pun ternyata tidak saja menghibur mereka, tapi juga narapidana lain, bahkan para sipir penjara. Cerita tentang pertunjukan kelima orang narapidana ini akhirnya sampai ke telinga kaisar. Atas kebijaksanaan sang kaisar, kelima narapidana tersebut mendapatkan kesempatan melakukan pertunjukan di hadapan sang kaisar dan memperoleh pengampunan.
Wayang Potehi setelah era reformasi
Di Indonesia, kesenian tradisional ini mengalami pasang surut sepanjang perjalanan sejarahnya. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kesenian ini cukup populer di tengah masyarakat. Tetapi pada awal era Orde Baru berkembang sentimen negatif terhadap budaya Tionghoa dan membuat seni wayang ini mengalami masa surut. Keberadaannya hilang di tengah masyarakat.Seiring dengan masa reformasi, perlahan kesenian ini kembali menggeliat. Kesenian Potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat seperti kelenteng atau pada saat perayaan ritual keagamaan. Bahkan saat ini pertunjukan wayang potehi pun marak merambah ke sejumlah pusat perbelanjaan, khususnya saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Wayang Potehi kini telah menjadi budaya Indonesia dan perlu dilestarikan.
Sebagai sebuah kesenian, wayang Potehi menunjukkan bahwa ia lahir dari sebuah proses akulturasi yang panjang. Potehi mampu bertahan menjadi sebuah kesenian yang dapat merontokkan sekat-sekat kesukuan dan membentuk kesenian dan kebudayaan Indonesia. Satu hal yang jelas kentara, dalang Potehi tidak melulu dimainkan oleh orang Tionghoa.
Posting Komentar untuk "Mengenal Wayang Potehi: Sejarah Boneka Cermin Kehidupan"