Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Bandar Udara di Indonesia dari Masa ke Masa

Kewibawaan suatu bangsa dapat terlihat dari keberadaan bandar udaranya. Setidaknya inilah keinginan Bung Karno setelah perlawatannya dari Amerika Serikat dan singgah di beberapa bandara di pengujung April 1961.

Kemegahan bandar udara di luar negeri itu membuat founding father ini terpesona. Itu sebabnya, Menteri Perhubungan Udara, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Sekretaris Negara kemudian diberi mandat untuk mewujudkan keinginan Bung Karno.

Bandara di Indonesia

Suatu negara, kata Bung Karno, perlu “simbol” kewibawaan agar dunia melihat kebesarannya. Salah satu kewibawaan yang akan membawa kebesaran Indonesia ialah membangun bandara yang setara dengan bandar-bandar udara yang ada di negara maju. Menurut dia, bandara adalah representasi dari wajah Indonesia serta gerbang utama Indonesia.

Beberapa waktu kemudian, berdasarkan perundingan antar-kementerian terkait, pembangunan bandara perlu dilakukan dengan profesional dan mandiri melalui suatu badan usaha.

Tak lama kemudian terbit Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1962 tentang Pembentukan Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran. Pada masa itu, Bandara Kemayoran merupakan titik pijak pengelolaan bandara pertama di Indonesia. Tugas pokoknya ialah mengelola dan melakukan pengusahaan atas Bandara Kemayoran.

Kemayoran: bandara internasional pertama di Indonesia

Bandara Kemayoran menjadi saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia. Bandara ini memiliki arti penting dalam sejarah yang tidak hanya penting bagi Indonesia, melainkan juga dunia. Bandara Kemayoran adalah lapangan udara domestik dan internasional. Tidak hanya pesawat sipil yang meramaikan bandara yang dibangun pada 1934 ini, tetapi juga pesawat militer pada masa Perang Dunia II.

KNILM

Bandara Kemayoran diresmikan pada 8 Juli 1940. Namun, sebelumnya, pada 6 Juli 1940, bandara ini telah lebih dulu beroperasi dengan pesawat DC-3 Dakota yang diterbangkan dari Lapangan Terbang Tjililitan—yang sekarang dikenal dengan Bandara Halim Perdanakusuma. Pesawat DC-3 Dakota yang beregistrasi PK-AJW ini terbang dari Kemayoran menuju Australia.

Pelbagai jenis pesawat pernah mampir di Bandara Kemayoran. Misalnya, jenis Fokker, mulai dari Fokker F-VIIb-3 yang bermesin torak, Fokker Friendship bermesin turbo, hingga Fokker F-28 yang bermesin jet singgah di sini. Kisah suram juga mewarnai perjalanan bandara ini. Pesawat Beechcraft pada waktu itu mengalami kecelakaan saat mendarat. Berikutnya Convair-340 mendarat tanpa menggunakan roda, pesawat Dakota DC-3 terbakar, serta pesawat DC-9 patah di bagian badannya ketika mendarat. Ada pula pesawat yang tidak pernah kembali setelah lepas landas dari Bandara Kemayoran.

Empat periode pengelolaan Bandara Kemayoran sebelum kemerdekaan

  1. Pemerintah Hindia Belanda. Sejak diresmikan pada 8 Juli 1940, perusahaan yang mengelola bandara ini adalah KNILM (Koningkelije Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij) pada 1940-1942.
  2. Pemerintah Jepang. Sejak pendudukan Jepang di wilayah Indonesia, bandara ini dikelola untuk tujuan militer pada 1942-1945.
  3. Pemerintah Sekutu. Kekalahan Jepang di Pasifik pada Perang Dunia II telah menyebabkan kembalinya Sekutu ke wilayah bekas jajahannya dengan membonceng NICA. Pada masa 1945-1950 ini, Bandara Kemayoran dikelola dan dioperasikan oleh Sekutu.
  4. Pemerintah Indonesia. Setelah Sekutu mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, pengelolaan Bandara Kemayoran hingga masa ini dikelola oleh perusahaan Indonesia. Pada awalnya, bandara ini dikelola oleh Djawatan Penerbangan Sipil, namun kini dikenal dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Pengelolaan bandara pada masa kemerdekaan


Apabila pengelolaan bandara dikelompokkan pada masa kemerdekaan, yang tercakup dalam Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, maka ada empat periode perjalanan pengelolaan bandara di bawah badan usaha milik pemerintah.
  1. Dalam periode pertama ini, secara khusus Bandara Kemayoran diubah menjadi perusahaan negara. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1962 dibentuklah Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran. Era ini merupakan cikal-bakal pengelolaan bandara di Indonesia pasca-kemerdekaan.
  2. Periode perusahaan negara pada 1964-1974. Pada saat itu, terjadi pengubahan nama dari PN Angkasa Pura Kemayoran menjadi PN Angkasa Pura. Alasannya, untuk meluaskan jejaring dengan mengakomodasi bandara lain, seperti Bandara Halim Perdanakusuma dan Bandara Ngurah Rai.
  3. Periode perusahaan umum pada 1974-1993. Pada tahun tersebut, Bandara Kemayoran dan Halim Perdanakusuma ditutup, sedangkan Bandara Soekarno-Hatta diresmikan. Selanjutnya, adanya pembagian wilayah pengelolaan bandara di Indonesia melalui Angkasa Pura I (menangani kawasan timur Indonesia) dan Angkasa Pura II (menangani kawasan barat Indonesia). 
  4. Periode PT (persero). Kebijakan-kebijakan terkait dengan peluasan bisnis dan kerja sama dilakukan pada masa ini, yang diawali dari kepemimpinan Fachri Zainuddin pada masa jabatan 1993-1998. Berikutnya, pada masa kepemimpinan Tommy Soetomo pada 2010, persoalan industrial yang rentan dengan campur tangan pihak luar berhasil diselesaikan. Transformasi perusahaan pada era Tommy ini dikenal dengan “Reposisi dan Rerstrukturisasi Bisnis menuju World Class Airport”.

Tren pengelolaan bandara: konsep airport city hingga aerotropolis

Perubahan tren pengelolaan bandara pada 1990-an menganut model airport city. Konsep ini merupakan transformasi antara bandara dan pelayanan non-aeronautika. Dengan demikian, bandara berevolusi menjadi pusat kegiatan bisnis.

Beberapa bandara di negara tetangga kita seperti Changi, Incheon, Hongkong, dan Beijing telah mengembangkan konsep ini. Dari Indonesia melalui Angkasa Pura Airport, konsep airport city akan diterapkan di lima bandara, di antaranya Ngurah Rai, Sepinggan, Hasanuddin, Juanda, dan bandara baru di Yogyakarta (Kulonprogo).

Pertama kali konsep airport city diperkenalkan oleh John Kasarda, profesor dari University of North Carolina Kenan. Ia menyatakan, jika dahulu bandara dibangun jauh dari kota, maka kini kegiatan bisnis dan rutinitas kota mengikutinya.

Karena itu, bandara lama-kelamaan mirip dengan kota beserta segala fasilitas yang dimilikinya. Di Bandara Soekarno-Hatta, konsep airport city makin menampakkan dirinya. Bahkan Bandara Ngurah Rai juga menunjukkan gejala tersebut. Penyatuan antara rumah penduduk dengan bandara serta kegiatan bisnis lokal penduduk telah menyebabkan fenomena tersebut sebagai suatu hal yang wajar.

Andaikata segala kegiatan dalam bandara semakin padat dan tidak hanya berkutat pada persoalan penerbangan, maka akan terbentuk sebuah kota yang baru. Nomenklatur ini disebut aerotropolis, yang merupakan gabungan dari airport dan metropolis. Kota seperti ini hanya akan terbentuk jika terjadi sinergi antara kelengkapan fasilitas bandara dan gaya hidup masyarakat di lingkungan sekitar.

Posting Komentar untuk "Sejarah Bandar Udara di Indonesia dari Masa ke Masa"