Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wisata Pulau Maluku: Jelajah ke Empat Desa Terpencil

Wisata pulau Maluku memang tidak sepopuler Raja Ampat di Papua. Namun jangan kira bahwa Maluku juga memiliki daya tarik wisata tersendiri. Dalam tulisan ini, admin ZhinkaDiary.com pernah mengunjungi kepulauan Maluku pada penghujung 2017. Admin menjejaki empat desa terpencil di Maluku.

Maluku terkenal dengan pantai Uang Seribuan yang ada di Maitara. Di pantai itu, kalau kamu ingat pernah menjadi ikon di uang seribu rupiah yang kini sudah tidak digunakan sebagai alat tukar.

wisata maluku

Maluku memiliki Gunung Gamalama, yang indah bila dilihat dari pulau Maitara Utara. Kepulauan Maluku mirip dengan kepulauan seribu di Jakarta. Antara satu pulau dengan pulau lain dibatasi oleh laut. Tapi menariknya di pulau Maluku, kamu akan melihat jajaran pulau-pulau yang saling berdekatan jika menaiki perahu angkut. Sehingga jika kita difoto akan tampak jajaran kepulauan yang masih jadi hutan rimba.

Pulau yang paling gemerlap di Maluku adalah Ternate. Pulau ini berbeda dengan yang lainnya karena kamu tidak akan kesulitan mencari makanan atau barang-barang yang dibutuhkan. Kalau sedang musim durian, harga durian di Ternate terbilang cukup murah dan rasanya tidak kalah nikmat dengan durian montong meskipun bentuknya lebih kecil.

Di bawah ini adalah laporan perjalanan admin selama lima hari di empat desa terpencil di Maluku. Sebenarnya latar alam dan budaya yang ada di empat desa ini bisa menjadi objek wisata jika benar-benar diperhatikan. Apalagi setiap desa yang berdiri memiliki latar sejarah yang panjang dan unik.


wisata pulau maluku
Gunung Gamalama dipotret dari Ternate

Desa Akekolano

Desa Akekolano diambil dari nama sebuah sungai yang letaknya tak jauh dari desa tersebut. Terminologi “akekolano” berarti “air raja”. Tapi air raja itu pada saat ini tak berlimpah lantaran musim kemarau yang berkepanjangan.

Jadi, jika dilihat dari atas jembatan desa yang panjangnya kurang lebih 20 meter itu, maka akan terlihat alir kecil yang tak sebanding dengan lebar sungai tersebut.

Sementara di pinggir sungai itu ada sebuah perusahaan swasta yang mengeruk pasir dengan beberapa truk pengangkut.

Luas wilayah Desa Akekolano ialah 1.800 hektare. Di sebelah utara Akekolano berbatasan dengan Desa Ampera. Di bagian timur berbatasan dengan hutan dan di barat dengan Desa Oba. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Garojo.

Di Akekolano, penduduk terbagi menjadi dua, yakni muslim dan nasrani. Tapi persentase terbesar jumlah penduduk ditempati kaum muslim. Pasca-konflik 1999, warga nasrani datang secara berangsur-angsur ke Akekolano. Mereka baru kembali ke desa pada 2002-2003. Alhasil, pembangunan ekonomi warga nasrani tertinggal jauh lantaran mereka harus bangkit kembali dari nol.

Junaidi Sangkop, kepala Desa Akekolano, menuturkan, kaum nasrani dan muslim yang menghuni desanya kini hidup secara berdampingan. Kegiatan gotong-royong berjalan dengan baik. Hal itu dibuktikan ketika seorang meninggal dari pihak muslim atau nasrani, maka masing-masing pihak saling membantu.

Misalnya, dari pihak muslim sendiri ada ukuran tertentu untuk meringankan beban keluarga yang berduka: uang 10 ribu, kayu satu ikat, dan kelapa dua buah per satu keluarga.

Ukuran bantuan tersebut sifatnya wajib bagi per keluarga. Sebaliknya, pada pihak nasrani juga memiliki besaran bantuan tersendiri.

Selain itu, dalam pembangunan rumah ibadah pun tiap-tiap pihak saling membantu. Pembangunan masjid atau gereja dilakukan secara swadaya.

Jumlah penduduk Desa Akekolano sebanyak 243 keluarga atau sekitar 900 jiwa. Sebagian besar pekerjaan warga Akekolano masih “serabutan”. Serabutan dalam arti tidak ada pekerjaan tetap yang dijadikan pemasukan utama untuk rumah tangga.

Selama ini, Desa Akekolano hanya mengandalkan ADD (alokasi dana desa) sebagai pemasukan desa, yang digunakan untuk membangun sarana infrastruktur. Warga belum bisa berdikari mengelola sumber alam sekalipun hasil buminya terhitung melimpah.

Meski demikian, sejumlah warga ada yang terlibat dalam kelompok pertanian dan peternakan yang masih dikelola secara sederhana.

Hasil alam di Akekolano adalah gula merah. Gula merah di sini berkualitas baik. Karena itulah, perkebunan yang sedang dikembangkan adalah kelapa. 

Karena kualitas gula merahnya bagus, tak mengherankan jika banyak orang di luar Kabupaten Sofifi mencari gula merah ke Arkekolano.

Namun permintaan gula merah dari luar harus melalui kesepakatan dengan warga Arkekolano. Pasalnya, permintaan dalam jumlah besar belum tentu bisa dipenuhi warga desa. Dengan kata lain, sumber daya manusia dan teknologi di Akekolano belum teratasi dengan baik.

Suku asli di Akekolano adalah Tobaru. Namun kini suku tersebut telah bercampur-campur dengan suku pendatang, seperti Ternate dan Tidore, sehingga suku asli hanya dijumpai di daerah pedalaman atau hutan.

Pada masa kini, banyak pemuda Akekolano yang tidak memilih menjadi petani. Hanya 1-2 orang yang terlibat dalam perkebunan. Bahkan banyak pemuda Akekolano yang memilih menjadi kuli bangunan. Sisanya, hanya sedikit kaum muda yang melanjutkan ke jenjang pendidikan sampai tingkat sarjana. Umumnya mereka yang berkuliah merantau ke Ternate dan kota besar lainnya.

Peran wanita

Kegiatan internal wanita dewasa tersalurkan melalui posyandu dan PKK. Selain itu, mereka juga menjual hasil bumi dari perkebunan ke pasar. Setiap sore, ada pengajian untuk wanita dewasa yang dilakukan seminggu dua kali.

Sedangkan kaum remaja juga ada kegiatan pengajian (TPQ). Namun, di pihak laki-laki dewasa belum mengadakan pengajian rutin sebagaimana wanita dewasa. Secara keseluruhan, peran utama di Akekolano masih dipegang laki-laki dan pemberdayaan perempuan secara substantif belum tersentuh.

Musyawarah desa

Musyawarah desa dilakukan pada malam hari setelah isya. Pasalnya, pada pagi dan sore hari, sebagian besar warga berkebun. Dulu, di Akekolano terdapat KUD (koperasi unit desa). Namun, sayangnya, ketika terjadi kerusuhan SARA pada 1999, KUD itu macet dan bubar di tengah jalan. Semenjak pasca-konflik 1999, KUD belum dibentuk lagi.

Dana desa

Penggunaan dana desa pada tahap I 2017 digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti saluran air dan gorong-gorong. Sebelum membangun infrastruktur diadakan musyawarah. Tapi musyawarah itu, kata kepada desa Akekolano, berjalan dengan alot. Alot itu bukan karena perdebatan panjang lebar atau debat kusir, melainkan masyarakat sukar diajak berdialog/urun rembug. Tapi ketika kegiatan gotong royong berlangsung, masyarakat laki-laki dewasa maupun remaja ikut membantu pelaksanaan kegiatan.

Etos kerja

Masyarakat di desa ini kurang memiliki “etos kerja” dan belum memiliki kesadaran penuh mengenai pendidikan—itu dibuktikan dengan kaum muda yang umumnya lebih memilih jadi kuli bangunan. Hambatan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) di sini, menurut seorang fasilitator bidang sosial, Muhamad Awan, mencakup pengadaan alat produksi untuk produksi lokal warga dan tingkat pengetahuan masyarakat masih rendah. Karena itu, produksi perkebunan juga tak berubah dari zaman ke zaman, yakni masih mengandalkan pemberian alam tanpa mengelolanya dengan baik dan belum menggunakan tenaga mesin.

gamalama
Gunung Gamalama dipotret dari Pulau Maitara Utara

Desa Maitara Utara

Pulau Maitara Utara terletak di antara Tidore dan Ternate. Pulau kecil ini menjadi ikon di lembar uang seribu rupiah. Penduduk di sini bekerja pada sektor perkebunan dan kelautan dengan mayoritas menjadi nelayan dan minoritas jadi petani.

Dalam perikanan, Maitara Utara adalah penghasil ikan terbanyak, sehingga menjadi penyuplai utama ke Ternate. Sampai saat ini, ikan-ikan yang diperoleh nelayan Maitara Utara disimpan di freezer yang terdapat di Pulau Ternate.

Jumlah kepala keluarga di sini ada 102 dan terdiri atas 538 jiwa. Pulau Maitara Utara terbagi atas Desa Maitara Utara, Maitara Induk, Tengah, dan Selatan. Keyakinan warga di Desa Maitara Utara adalah Islam. Kegiatan agama di sini menjadi prioritas dalam rutinitas keseharian penduduk. Hal itu dibuktikan dengan adanya “kelompok bapak-bapak” yang mengurus urusan agama.

Kelompok bapak-bapak terdiri atas 200-an orang yang dipilih melalui musyawarah desa. Di desa ini juga, sistem kekeluargaan masih sangat kuat. Maka, apabila ada seorang anggota keluarga yang meninggal dunia, tokoh bapak-bapak itu bersama warga melakukan urun rembug.

Jadi, untuk urusan pengajian yang dilakukan selama tujuh hari itu tidak dibebankan kepada pihak keluarga yang berduka. Itu sebabnya, setiap keluarga wajib mengeluarkan biaya Rp 50.000 sebagai uang saweran.

Kebiasaan di Maitara Utara adalah setelah lepas 100 hari masa berkabung, setiap malam ganjil selama satu tahun dilakukan pengajian.

Istilah gotong royong di desa ini disebut “lili yan”. Selain membantu ketika ada warga yang meninggal—juga membantu saat ada hajatan—semua warga desa datang dengan membawa barang-barang apa pun untuk membantu meringankan beban tuan rumah. Karena itu, jika ada keluarga yang absen tiga kali urun rembug, akan dicoret namanya. Selebihnya, sanksi sosial akan diberikan kepada warga yang absen berupa pengucilan dari masyarakat setempat.

Tidak ada pasar

Di Maitara Utara tidak ada pasar, sehingga jika kita mau belanja harus menyeberang ke Tidore. Di desa ini juga tidak ada sayuran. Petani di sini seperti pada umumnya petani di Maluku Utara lainnya: berkebun tanaman rempah-remah di kawasan perbukitan. Di samping itu, rata-rata tanah di Maluku Utara memiliki sifat yang keras, sehingga tumbuhan seperti sayur-mayur tidak bisa tumbuh.

Musyawarah

Nelayan di Maitara Utara melaut rata-rata satu bulan lamanya atau bergantung pada kondisi alam. Karena itu, jika ada pertemuan/musyawarah antar-warga, yang hadir adalah orang yang ada di desa, seperti para istri yang menghadiri musyawarah jika suaminya belum pulang melaut.

Pendidikan

Menurut kepala desa dan beberapa warga, pendidikan di Maitara Utara menjadi hal yang penting. Sehingga ada anakdot seperti ini: “Biarpun orang tua makan nasi dan garam, yang penting anak dapat sekolah tinggi”. Karena itu, penghasilan dari nelayan atau berkebun ditabung dan dibagi dua: untuk kebutuhan makanan dan biaya pendidikan. Mereka berharap, anak-anak yang menyelesaikan kuliah dapat kembali ke kampung halaman dan membangun desanya.

Desa Saria

Desa Saria adalah desa terpencil sekaligus terisolasi. Betapa tidak, desa ini diapit dengan dua jajaran perbukitan, sehingga akses ke tempat lain menjadi sukar.

Beberapa tahun lalu, pemerintah daerah setempat meminta kepada warga desa untuk pindah ke lokasi yang telah disiapkan. Tapi warga menolak karena relokasi permukiman yang baru adalah kawasan perbukitan. Karena penolakan relokasi itulah, Desa Saria benar-benar terisolasi.

Sebagian besar penduduk desa adalah nelayan dengan persentase 90%. Penduduk desa beranggapan bahwa laut adalah sumber kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. Kepala desa Saria mengatakan dari zaman dahulu warga di sini berprofesi sebagai nelayan. Lain pekerjaan tidak. Namun, dari zaman dulu hingga kini, profesi nelayan tersebut tidak membuat kehidupan desa menjadi lebih baik. Masalahnya adalah cara melaut mereka masih tradisional.

Di desa yang penduduknya memeluk agama Islam ini tidak memiliki peternakan sama sekali. Menurut tetua desa, kambing dilarang dipelihara lantaran memakanan tanaman dan mengotori masjid dan desa.

Kebun pala dan cengkih

Desa ini memiliki tekstur tanah yang keras dan dikelilingi perbukitan, sehingga tanaman pangan tak bisa tumbuh. Meski demikian terdapat perkebunan cengkik dan pala yang merupakan warisan turun-temurun. Inilah hasil bumi satu-satunya yang dimiliki desa.

Untuk sehari-hari, hasil melaut dijadikan sumber penghasilan utama warga. Namun ada beberapa pokok permasalahan yang perlu digarisbawahi:
  1. Pertama, warga kekurangan dana untuk menyimpan ikan di dalam freezer, sehingga ikan tidak bisa disimpan lama. Jadi percuma saja jika hasil tangkapan berlimpah, tapi tidak bisa disimpan lebih lama untuk dijual ke pasar.
  2. Kedua, warga hanya menjual ikan mentah dan belum membudidayakan ikan menjadi produk-produk kemasan yang bertujuan menghindari ikan menjadi cepat busuk dan meningkatkan usaha rumahan penduduk.
  3. Ketiga, penjualan ikan hanya melalui satu pintu, sehingga tidak ada kemungkinan diekspor ke wilayah ataupun negara lain.
Selain karena tiga faktor tersebut, nelayan yang melaut juga masih perseorangan, bukan kelompok. Itulah sebabnya, tidak ada laporan atau catatan spesifik mengenai hasil tangkapan. Biasanya, wanita atau istri dari nelayan tersebutlah yang menjual ikan. Istilah di Saria disebut “dibo-dibo” yang berarti “menjual ikan tangkapan ke pasar”.

Desa Saria memiliki jumlah penduduk 167 kepala keluarga dan 715 warga. Jika dihitung jari, hanya 1-2 warga yang merantau dari desa tersebut. Pendidikan di desa ini juga kurang maju, karena hanya ada sekolah dasar dan sekolah menengah.

Desa Hoku-Hoku Gam

Desa Hoku-Hoku Gam secara administrasi termasuk wilayah kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, dengan jarak 6 kilometer dari kantor kecamatan. Jarak Desa Hoku-Hoku Gam dari kantor bupati kebupaten Halmahera barat sekitar 12 km waktu tempuh menuju pusat kota kecamatan sekitar 15 menit, sedangkan waktu tempuh menuju ibu kota kabupaten sekitar 30 menit.

Desa Hoku-Hoku Gam terdiri atas satu dusun 2 RT. Masing-masing RT 1/RT 2. Luas wilayah Desa Hoku-Hoku Gam adalah 112 hektare dengan batas-batas desa sebelah utara Desa Gamnyial, sebelah selatan Desa Tibobo, sebelah barat Desa Taraudu, dan sebelah timur berbatasan dengan Kali Mati Gogola (wilayah Tibobo).

Desa Hoku-Hoku Gam secara topografi berupa dataran tinggi dengan ketinggian 80 meter diatas permukaan laut (dpl). Suhu di daerah ini cukup bervariasi, yakni antara 24 derajat saat paling dingin dan 35 derajat saat paling panas.

Jenis tanah yang ada di wilayah sebagian besar adalah tanah Andisol. Sifat tanah andisol adalah bersolung tebal/dalam dan berwarna kuning terang—makin dalam makin terang. Tekstur liatnya silty loang dengan kadar liat kurang dari 30 persen.

Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman. Iklim Desa Hoku-Hoku Gam termasuk daerah dengan titik iklim D, dengan nilai Q di antara 60 %-100%. Nilai Q adalah perbandingan antara banyaknya bulan basah dibagi dengan bulan kering yang dikali 100%.

Sarana perhubungan dengan ibu kota kecamatan (Akelamo) dan ibu kota kabupaten  (Jailolo) dihubungkan dengan jalan darat dengan konstruksi jalan beraspal. Sedangkan dalam desa ada jalan setapak dengan konstruksi makadam.

Keadaan jalan yang sudah beraspal dan adanya mobil angkutan yang masuk berdampak dalam kegiatan sehari-hari, sehingga mobilitas menjadi tinggi dan sebagian masyarakat desa terutama kaum muda beralih profesi sebagai sopir dan pengojek. Kemudian, ada juga yang menjadi pengumpul dan penjual hasil bumi.

Ditinjau dari jenis komoditas yang diusahakan sistem usaha tani yang ada di Hoku-Hoku Gam terdiri atas komoditas pertanian, seperti padi, kacang-kacangan, jagung, kasbi, ubi jalar, pisang, rica, tomat, sayur-sayuran.

durian ternate
Durian yang dijajakan di Ternate

Komoditas kedua adalah perkebunan seperti kelapa, pala, cokelat, kopi, durian, rambutan, jeruk, manggis, langsa. Kemudian, kelompok komoditas kehutanan, seperti jati, benuang, damar, rotan, bambu, dan enau.

Hasil utama dari desa ini adalah kopra, pala, cokelat. Komoditas musiman buah-buahan seperti durian, rambutan, langsa, manggis, dan lemon. Selain itu, komoditas pertanian yang dipasarkan dan paling menonjol adalah kacang-kacangan, jagung, kasbi, ubi jalar, pisang, rica, tomat, sayur-sayuran.

Sedangkan usaha tanaman padi ladang hanya pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Hal ini terkendala oleh sarana pengolahan tanah. Sampai saat ini, komoditas tanaman hutan seperti jati adalah usaha kelompok tani yang sudah siap panen, namun belum ada pengusaha yang memborong/membeli.

Sejak kapan lahirnya Desa ini belum diketahui secara pasti. Namun, dari cerita peninggalan orang tua-tua, Desa Hoku-Hoku Gam pada awalnya bernama “ngofanyara”, yang berasal dari kata “ngofa manyira”. Ngofa artinya anak dan manyira berarti yang kakak/yang paling tua.

Desa ini sudah ada sejak zaman kesultanan Moloku Kieraha. Sebab, dari peran Desa ini pernah muncul seorang kapita bernama Tukohoko yang menjaga di garis depan di muka Pelabuhan Jailolo dari garis pantai antara Matui sampai Saria. Kemudian, di bagian hutan di Pegunungan Tuko dekat berbatasan dengan Kao ditempatkan dua kapita sebagai penjaga hutan yang bernama sama: Madiolar dan Madimadiolar. 

Bakti sosial

Bakti sosial atau gotong royong di Hoku-Hoku Gam juga masih kuat. Itu terlihat ketika berlangsung pembangunan rumah yang dilakukan secara swadaya. Di desa ini setiap triwulan dilakukan arisan untuk membangun rumah.

Sebelum kegiatan berlangsung diadakan musyawarah antar-warga desa yang melibatkan kaum wanita bersama tokoh adat, agamawan, dan sesepuh desa.

Keterlibatan wanita, selain dalam musyawarah, juga pada praktek di tengah masyarakat. Mereka terlibat dalam kegiatan posyandu dan PKK. Meski tidak ada dana rutin yang mengisi kas untuk kegiatan tersebut, mereka tetap aktif dengan mengandalkan dana swadaya warga.

Pemberian alam

Jumlah penduduk Desa Hoku-Hoku Gam pada 2011 ada sebanyak 77 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 320 jiwa yang terdiri dari 166 laki-laki dan 154 perempuan.

Rata-rata setiap keluarga terdiri dari lima anggota keluarga. Pihak laki-laki Hoku-Hoku Gam berprofesi sebagai petani. Tapi sejumlah kendala belum bisa terasatasi, seperti masalah minimnya pengeloaan tanah dan produksi perkebunan.

Mereka, seperti diakui oleh kepala desa Hoku-Hoku Gam, hanya mengambil hasil perkebunan yang terbentang di alam tapi tidak bisa mengolahnya menjadi produk lokal rumahan yang dapat menjadi devisa bagi warga desa. Bahkan warga desa lebih banyak belajar dengan suku Jawa yang menjadi transmigran di Halmahera.

Posting Komentar untuk "Wisata Pulau Maluku: Jelajah ke Empat Desa Terpencil"